Jangan Ragu untuk Menulis
Oleh: Deva Sadega (Penulis “Kekuatan Cinta Itu Ada”)
Ini berawal dari kegemaran saya menulis dan mengarang cerita yang kemudian terus mendorong saya untuk tak pernah bosan menggali imajinasi yang terpendam, untuk terus melahirkan cerita-cerita baru dari pengamatan lingkungan maupun dari pengamatan kehidupan saya sendiri. Terlebih lagi ditambah dengan hobi saya yang tergolong aneh, yaitu menghayal, yang kerap melahirkan ide-ide baru meski kadang liar dan kemudian menuangkannya dalam tulisan.
Harus saya akui, menulis tidaklah semudah yang kita bayangkan sebelumnya, kecuali kamu menulis nama kamu sendiri, mungkin itu mudah. Tapi menulis disini adalah menulis dalam artian menciptakan sebuah karya tulis yang dapat dinikmati oleh diri kita sendiri dan oleh orang lain. Mungkin bisa berupa cerpen, puisi, novel dan lain sebagainya, itu semua membutuhkan proses dan usaha yang sebenarnya perlu diapresiasi dan dihargai.
Saya gemar menulis sejak usia SD, ketika itu saya masih menggeluti puisi. Sekitar usia kelas 4 SD saya sudah mulai terbiasa dengan karya sastra, puisi tentunya, apalagi di pelajaran Bahasa Indonesia memang dipelajari. Dan waktu itu saya sudah bisa membuat puisi walaupun saya masih memakai kata-kata yang kerap dipakai oleh idola saya. Chairil Anwar.
Kemudian menduduki bangku SMP, kegemaran saya mulai meluas. Bosan dengan puisi, saya beralih membuat cerpen. Walaupun sekedar menempel di mading sekolah untuk beberapa hari tak jadi masalah karena kepuasan seorang penulis, menurut saya, adalah ketika karya tulisnya dibaca oleh orang lain. Melihat teman-teman perempuan saya rela berdiri di depan mading hanya sekedar membaca tulisan saya, disanalah kepuasan saya.
Kemudian masa SMA, masih sama, saya masih gemar menulis dan mengarang. Apalagi ketika saya sedang sendirian, menurut saya hal posotif yang bisa kita lakukan adalah menulis.
Mungkin hobi yang sudah mendarah daging yang membuat saya sampai sekarang masih menggemarinya.
Bermula dari komentar teman-teman yang membaca cerita karangan saya yang saya posting di blog, sebagian besar mereka mengatakan cerita saya bagus, entahlah mereka bohong atau tidak, kalaupun mereka bohong mereka yang dosa sendiri, dan mereka menyarankan saya untuk membukukan karya saya tersebut agar lebih mudah dibaca. Jadi tidak perlu browsing lagi. Saya pikir saran mereka benar juga dan saya setuju dengan mereka.
Namun saya bingung menentukan aliran yang akan saya ambil, cerpen atau novel?
Akhirnya setelah meminta pertimbangan dengan teman-teman yang kebetulan penulis sastra juga, mereka menyarankan saya untuk menulis novel saja karena untuk ukuran cerpen cerita yang kerap saya buat berdurasi panjang.
Kan bisa saja membuat cerpan (cerita panjang)? Engga ada tantangan.
Saya menurut.
Lalu saya mulai memperluas imajinasi dan daya khayal saya agar bisa membuat alur cerita yang panjang, agar pantas disebut novel. Lumayan banyak kendalanya memang, kadang saya kehilangan ide, kadang ceritanya malah berbelit-belit seperti sinetron, kadang saya malah marah, tapi saya sadar saya harus terus mencoba tarus berusaha dan tak perlu malu untuk meminta saran dari orang lain yang tentunya sudah ahli di bidang ini.
Keinginan untuk terus belajar dan mencoba hal yang baru yang kemudian mendorong saya hingga akhirnya terciptalah sebuah novel perdana saya dengan genre teenlit karena yang saya observasi adalah para remaja.
Lalu ada kendala baru, kemana buku ini akan saya bawa?
Saya kembali bertanya kepada para senior sekaligus motivator saya dan mereka menyarankan untuk mencari penerbit yang bersedia menerbitkan buku saya.
Mereka juga menjelaskan apa keuntungan dan kerugian kalau buku kita diterbitkan, saya benar – benar sedang berguru pada waktu itu. Satu kalimat yang membuat saya memantapkan hati saya ketika itu adalah kalimat dari sahabat sekaligus senior dan motivator saya, namanya Nala Arung dan begini kalimatnya, “Coba aja dulu, kalau belum dicoba mana tau rasanya”
Akhirnya saya putuskan untuk menerbitkan novel saya.
Ada kendala baru lagi, penerbit mana yang mau menerima?
Saya coba browsing di internet, ada banyak nama-nama penerbit bermunculan dengan penjelasannya masing-masing dan saya baca satu persatu.
Dan akhirnya saya tertarik dengan Penerbit Oase Pustaka. Sebuah penerbit yang meski masih indie namun biaya penerbitannya sangat terjangkau bagi saya.
Menurut saya indie atau mayor bukanlah masalah. Kan yang dibaca isi bukunya, bukan nama penerbitnya. Meskipun buku kamu diterbitkan di penerbit indie, kalau buku kamu memang menarik tentu saja banyak yang akan membeli dan membacanya.
Kemudian saya hubungi pihak Oase Pustaka.
Sangat mudah, responnya cepat, pelayanannya baik. Bahkan hari itu juga saya langsung tanda tangan kontrak kerjasama dengan Oase Pustaka.
Cepat bukan? Tak perlu menunggu 1-3 bulan untuk mengetahui naskah kamu akan diterbitkan. Iya kalau diterima, kalau tidak? Kan kasihan hasil karya yang kamu buat lama – lama harus terombang-ambing kesana kemari.
Saya rasa saya perlu berterimakasih kepada Oase Pustaka, sebuah penerbit yang engga ribet dan mau menerbitkan karya saya dengan cepat dan mudah. Mungkin Oase Pustaka tahu bagaimana susahnya menciptakan sebuah karya tulis dan Oase Pustaka hargai itu semua dengan paket penerbitan yang murah dan persyaratan penerbitan yang mudah.
Terimakasih Oase Pustaka. Semoga terus maju mendukung penulis muda!
Komentar
Belum Ada Komentar