Lorong masa kecil Ardan Al Fatih terasa panjang, dingin, dan dipenuhi bayangan amarah sang ayah, Rafiq Almaz, seorang anggota DPR yang menuntut kesempurnaan. Sejak usia tujuh tahun, Ardan mengerti satu hal: ia harus menjadi kuat agar tidak lagi melihat air mata Samira, ibunya. Ia memilih jalur bela diri, menjadikan silat sebagai perisai, menjadikannya seorang petarung yang dingin di luar, namun bergolak di dalam.
Ketika Ardan beranjak remaja, ia meninggalkan Yogyakarta dan memulai hidup baru di Arcanum High School (AHS), sebuah pesantren elit bertaraf internasional. Bersama dua sahabat seperjuangan, Rizal yang lincah dan penuh strategi, serta Farhan yang tenang dan jenius, ia bertekad menggapai mimpi tertinggi: menjadi taruna Akademi Militer dan membawa nama Indonesia di kancah The Grand Silat World Cup di Abu Dhabi.
Di gelanggang dunia, mereka membuktikan bahwa kecerdasan, spiritualitas, dan kerja keras dapat mengalahkan lawan terkuat. Medali emas dan kebanggaan nasional akhirnya terenggut, sebuah penutup manis bagi perjuangan panjang mereka.
Namun, takdir punya rencana lain.
Dalam penerbangan pulang, pesawat yang membawa kontingen Indonesia tiba-tiba mengalami musibah dahsyat di atas Teluk Persia. Di tengah kepanikan, Ardan—sang juara dunia—terhantam keras, terhempas ke batas antara realitas dan kehampaan.
Saat suara monitor jantung berubah menjadi garis panjang, Ardan Al Fatih berdiri di suatu tempat yang hening, di hadapan batas yang samar. Sebuah suara lembut memanggilnya, "Kau kini berdiri... di ambang pintu yang tak terlihat."
Akankah kekuatan yang ia cari di gelanggang cukup untuk membimbingnya kembali ke dunia nyata? Atau, apakah ia harus melepaskan segalanya, untuk menemukan kekuatan sejati yang sudah lama dicari: keberanian untuk kembali hidup setelah jiwa direnggut oleh kegelapan?