Novel ini lahir dari sebuah jeda yang sunyi, dari keheningan malam yang pekat, dan dari
gemerisik pena yang menari di atas kertas yang basah oleh air mata, namun kini telah mengering menjadi sebuah ketenangan. "Doa di Balik Seragam" bukanlah sekadar kisah tentang kehilangan, melainkan sebuah monolog jujur tentang bagaimana sebuah perpisahan dapat mengubah ruang kosong menjadi ruang pendoa, dan mengubah ketakutan menjadi kekuatan yang tak tergoyahkan.
Anda akan diajak menyusuri lorong waktu di mana seorang wanita belajar bahwa bintang paling terang di langit adalah jawaban atas setiap pertanyaan yang tak sempat didengar, bahwa kehilangan bukanlah harus dihadapi dengan air mata, tetapi kadang, ia bisa menjadi doa yang tenang. Inilah kisah tentang proses berdamai dengan takdir, tentang menjadi ibu dan ayah sekaligus, menjadi tempat pulang sekaligus pagar depan, serta tentang perjuangan sunyi yang dijalani di balik tumpukan cangkir kopi, jaket lusuh, dan sendal jepit yang sengaja tak dibuang—sebagai cara untuk memelihara ilusi bahwa ia belum benar-benar pergi.
Melalui karakter Rendra yang mewarisi keberanian, Nazla dengan puisi-puisinya yang mewarisi kepekaan hati, dan Anin dengan nyanyian polosnya, kita akan melihat bahwa cinta sejati tidak berhenti ketika napas terhenti; ia hanya berpindah tempat, dari pelukan raga ke pelukan langit, dan terus hidup sebagai melodi abadi di dalam hati.
Semoga kisah ini menjadi pengingat bahwa rindu tak perlu sesak, ia bisa menjadi udara yang menenangkan, dan bahwa menutup lingkaran luka adalah proses mengembalikan kisah kita pada tempatnya yang paling damai: di antara bintang, di antara doa, dan di dalam setiap napas kehidupan yang terus berjalan. Selamat menyelami sebuah perjalanan dari air mata menuju syukur, dari ruang kosong menuju keberanian.