Kehilangan bukanlah suatu hal yang mudah untuk dihadapi, apalagi ketika itu terjadi di depan mata dan Bara tak bisa berbuat apa-apa, bagaikan ingin menggapai awan. Butuh keberanian dan tekad yang besar untuk merelakan dan maju melangkah. Namun bagaimana ketika Clara kembali ke hadapannya tanpa mengetahui siapa Bara? Tanpa mengingat satu kenangan pun tentang mereka?
Cinta. Bahwa mereka memiliki ikatan yang begitu kuat, sebagai kunci untuk membuka kenangan-kenangan yang tak tergantikan. Bahwa ada saat dimana memori berwujud rasa, bukan hanya sekadar waktu ataupun insan. Bahwa belahan jiwa yang saling menarik akan mengalahkan logika dan nalar. Bahwa untuk saling mencintai, kata-kata bukanlah hal yang utama. Sayang takdir tak pernah membuatnya mudah. Selalu ada bebatuan untuk membuat Bara tersandung, jatuh, dan menyerah. Bahkan takdir tak segan bekerjasama dengan maut untuk mengalahkannya dengan telak.
Ketika Clara kembali, mungkin semua sudah terlambat. Bara sudah terlanjur lelah dan hancur, bersiap merelakan semua dan mendoakan yang terbaik untuk Clara, tersenyum seakan ia menerima keputusan takdir bahwa Bara takkan bisa bersatu dengannya. Ia pun berpikir Clara memang sebaiknya bersama dengan Dida, seseorang yang akan membahagiakan, menjaga, dan mencintai Clara seperti yang ia lakukan.
Tapi ia takkan bisa bukan? Nyatanya Bara tetap ingin melawan sampai akhir, ingin membuktikan bahwa takdir bisa saja salah. Ia akan bisa bersatu lagi dengan Clara walau hanya untuk sehari. Untuk itu Bara akan mengerahkan segala yang ia punya, hingga nafas yang terakhir. Pada akhirnya keegoisan Bara mengambil alih, terlebih saat ingatan Clara berhasil pulih karenanya. Ia lebih suka Clara menangis dan menderita dalam dekapannya daripada tersenyum dan bahagia dalam dekapan orang lain. Bara siap melawan waktu hanya untuk dapat kembali bersama Clara dan memeluknya lagi, menjadikan Clara miliknya seutuhnya.