Dalam buku ini, aku pun berbagi filosofi angka tiga sebagai simbol keseimbangan, kesempurnaan, dan perjalanan hidup yang saling terkait. Angka tiga menjadi cerminan dari keluarga kami: aku sebagai ibu, suami sebagai ayah, dan anak-anak sebagai penerus cinta dan doa kami. Angka ini juga menjadi pengingat akan pentingnya saling menopang, meski kini kami harus menjalani hidup tanpa ayah di sisi kami.
Alur buku ini pun bercerita tentang kisah nyata yang berat dan penuh makna. Dari 900 orang tentara yang ditugaskan di Lebanon, hanya satu yang tidak dapat menyelesaikan tugasnya karena sakit yakni suamiku. Kenyataan ini sungguh menghantam kami. Sebagai seorang istri dan ibu dari tiga anak, menerima fakta bahwa sosok yang seharusnya selalu ada, kini pergi untuk selamanya adalah ujian terbesar yang pernah kuhadapi.
Sebagai single parent, aku harus berusaha menjaga keluarga, membimbing anak-anak, dan menghadapi luka batin yang begitu mendalam. Perasaan takut, rindu, dan kehilangan tercampur aduk dalam setiap langkah yang kuambil. Buku ini memuat kisah itu, bagaimana aku berjuang, bagaimana anak-anak meng-ekspresikan perasaannya, dan bagaimana kami belajar menata hidup di tengah duka yang belum sepenuhnya bisa kami terima.
Kehidupan kami setelah ke-pergiannya menjadi inti dari cerita ini. Setiap hari penuh tantangan, mulai dari mengurus kebutuhan anak-anak, menyiapkan bekal sekolah, hingga mengatur rumah tangga yang kini sepenuhnya menjadi tanggung jawabku. Namun, di balik semua itu, ada pelajaran berharga tentang kesabaran, keikhlasan, dan kekuatan seorang ibu yang harus berdiri tegak untuk ketiga anaknya.