ISLAM DAN PERLINDUNGAN HUKUM ATAS HAK KAUM MINORITAS

Kategori: Non Fiksi

Merk: Oase Pustaka

Rp. 65.000

Hanya Tersisa: 10 lagi Tersedia Tersedia

Order Via Whatsapp

Buku yang hadir dihadapan pembaca ini bermula dari tema penelitian tentang pemberlakuan Qanun No. 6 Tahun 2014 tentang Hukum Jinayat serta perlindungannya terhadap hak kaum minoritas di Kota Langsa, Aceh. Tema ini diakat berdasarkan pada masih melekatnya stigma negatif terhadap pemberlakuan hukum/Syari’at Islam dan selalu dibenturkan dengan isu hak asasi manusia yang belum juga pudar bahkan dilabeli sebagai hukum barbar. Terkadang hal tersebut dijadikan sebagai alat presser secara politik dan ekonomi pada negara-negara yang memberlakukan hukum Islam. Kasus terakhir yang dapat dijadikan contoh adalah Brunai Darussalam dan Afghanistan setelah negara tersebut dikuasai oleh Thaliban pasca perang saudara yang cukup panjang. Aceh adalah bagian dari sejarah panjang terbentuknya Negara Kesatuan Republik Indonesia. Jauh vi sebelum NKRI terbentuk Aceh telah berjaya ratusan tahun sebelumnya. Kerajaan-kerajaan di Aceh telah ada dan memberi warna khusus dalam perjalanan panjang sejarahnya, dan warna khususnya adalah Islam. Sebab sebelum Islam datang dan menjadi warna sejarah Aceh, Aceh tidak memiliki sejarah kejayaan yang dapat dibanggakan, hingga ada ada adagium yang diberikan oleh peneliti Barat, “menjadi Aceh adalah menjadi muslim”. Pada masa kolonialisme, putra daerah Aceh yang beridentitas Islam paling keras perlawanan terhadap penjajah sehingga pada masa setelah itu penjajah tidak berani lagi datang ke tanah Rentjong. Dari tanah Renjong Aceh itulah lahir pahlawan-pahlawan besar seperti Teuku Umar, Cik Diktoro, Cut Nyak Dien dan lain-lain. Pahlawan yang paling fenomenal dan tidak ada yang menyamainya adalah Laksaman Mala Hayati, seorang panglima perang laut perempuan pertama di dunia yang memimpin pasukan khusus perempuan. Semaunya berjuang berpanji kerajaan-kerajaan Islam di Aceh. Pada ranah menjaga ketertiban dan kedamaian di masyarakat Aceh, hukum/Syari’at Islam dijadikan norma untuk mengatur masyarakat, Pengadilan Serambi dapat diruntut sejarahnya dalam penyelesaian masalah-masalah hukum dalam masyarakat Aceh. Pada masa kemerdekaan Republik Indonesia, kontribusi Aceh sangat besar, sumbangan emas dan 2 (dua) pesawat pertama yang dimiliki Pemerintah vii Republik Indonesia pada awal kemerdekaan adalah bukti konkritnya. Namun setelah itu muncul ketegangan antara Aceh dengan Pemerintah Pusat yang berujung pada rasa tidak puas Aceh dan melahirkan “pemberontakan” terhadap Jakarta. Ketegangan demi ketegangan terus berlanjut sampai lahir Gerakan Aceh Merdeka dan penetapan Aceh sebagai Daerah Operasi Militer (DOM) pada masa Orde Baru. Masa reformasi menjadi babak baru Aceh dan Pemerintah Indonesia. Perjanjian Helsinki menjadi babak akhir ketegangan demi ketegangan di Aceh, GAM dibubarkan dan Aceh diberikan kekhususan sebagai kompensasi dan bargaining dalam perjanjian (Nota Kesepahaman Helsinki). Kemudian lahir beberapa undang-undang khusus untuk Aceh yang didalamnya memberikan keleluasaan Aceh untuk menjadikan Syari’at Islam sebagai hukum yang khusus berlaku di Aceh. Kini Aceh dengan identitas keistimewaan dan otonomi khususnya telah memberlakukan Syari’at Islam sebagai norma hukum yang berlaku, dalam bentuk perda yang di sebut dengan qanun. Berdasarkan 3 (tiga) undang-undang tentang Aceh, telah lahir belasan qanun Islami yang mengatur sendi-sendi kehidupan masyarakat pada ranah privat sampai ranah publik. Dari belasan qanun itu masih memungkinkan untuk lahirnya qanunqanun yang lain, sebab berdasarkan undang-undang ada 36 norma yang memerlukan lahirnya qanun-qanun Islami berikutnya. viii Pada ranah hukum publik muncul Qanun Jinayat NO. 6 Tahun 2014. Qanun Jinayat ini mengatur beragam perbuatan yang melanggar kepentingan publik yang didasarkan pada Syari’at Islam. Hukuman yang diberikan kepada pelanggar Qanun Jinayat tersebut diberikan hukuman yang disebut uqubat, belum sampai tingkatan hudud. Walaupun belum sampai hukum hudud yang diterapkan telah memberikan dampat yang positif bagi masyarakat Aceh, termasuk Kota Langsa, tetapi stigma miring terhadap penerapan Syari’at Islam di Aceh tetap ada, terutama bagi orang yang berada di luar Aceh. Muncul juga sejumlah kekhawatiran, sebab Aceh tidak homogen 100% muslim. Di Aceh tetap heterogen dari sisi agama, suku dan budaya serta bahasa. Keberadaan kaum minoritas (agama), seperti; Hindu, Budha, Kristen, Kotolik dan Konghuchu tidak hilang, terdiskriminasi dan hak-haknya terganggu dengan berlakunya qanun-qanun Islam terutama Qanun Jinayat. Buktinya adalah sejak awal penerapan Syari’at Islam tidak ada eksodus dari kaum minoritas ke luar Aceh. Disamping itu, Pemerintah Aceh juga mempersiapkan segala infrastruktur penegakan Syari’at Islam dengan lengkap, pun memperhatikan norma-norma hak asasi manusia agar tidak terlanggar dalam peneggakannya. Kasus Aceh