Tidak berlebihan jika kedatangan risalah yang dibawa Nabi Muhammad S{allalla>h ‘alaih wa sallam dikatakan sebagai pelopor kesetaraan dan emansipasi perempuan di tengah tradisi misogini yang mengakar ala Jahiliyyah. Islam datang mengeliminasi berbagai adat Jahiliyyah saat itu; seperti mengubur hidup-hidup bayi perempuan -lantaran dianggap tidak membawa kontribusi saat perang, mengawini perempuan sebanyak yang diinginkan serta menceraikan sesuka hati, atau tradisi tidak memberi warisan kepada anak perempuan. Bahkan diriwayatkan bahwa ada kepala suku Arab yang memiliki sembilan puluh istri.
Ketika Islam datang, semua hal tersebut diharamkan dan dikecam selamanya. Sebagaimana masyhur, masyarakat Arab Jahiliyyah pra-Islam telah mempraktikkan berbagai pola perkawinan yang merugikan pihak perempuan. Ada yang dikenal dengan nikah daysan, di mana anak sulung laki diperbolehkan menikahi janda mendiang ayahnya hanya dengan melempar sehelai kain kepada wanita tersebut, maka saat itu juga dia mewarisi ibu tirinya sebagai istri. Kadang ada pola seorang bapak saling menyerahkan putrinya untuk ditukar-nikah kan tanpa mahar. Praktik ini disebut dengan nikah syighar.
Terdapat pula adat di masyarakat Jahiliyyah praktik saling bertukar istri hanya dengan kesepakatan kedua suami yang dikenal dengan nikah badal. Ada juga yang dinamai dengan nikah istibd}a’, di mana seorang suami boleh memaksa istri tidur dengan laki-laki lain sampai hamil dan setelah itu istri dikembalikan ke suami asal, semata-mata untuk mendapatkan bibit unggul dari orang lain yang dipandang mempunyai keistimewaan nasab tertentu. Ada juga pernikahan bersama, di mana seorang perempuan disetubuhi banyak laki-laki, kemudian jika perempuan tersebut hamil (kemudian melahirkan) maka ia mengumpulkan semua laki-laki yang pernah menyetubuhinya kemudian menunjuk salah satu di antara mereka untuk menjadi ayah dari anak tersebut tanpa bisa menolaknya. Semua model perkawinan tersebut dihapus-haramkan ketika Islam datang.
Semangat emansipasi Islam kemudian banyak menerima tantangan dari berbagai tradisi dan literatur Islam itu sendiri. Dalam banyak literatur klasik dijumpai penafsiran-penafsiran yang dianggap misoginistik untuk zaman sekarang. Misalnya permasalahan keterlibatan perempuan dalam urusan publik, pembatasan perempuan hanya dalam urusan domestik (sebut saja: kasur,sumur, dan dapur), penciptaannya dari tulang rusuk Adam, atau yang lain sebagainya. Ada pula anggapan yang hampir diterima banyak kalangan bahwa perempuan lebih berbahaya daripada setan atau dalam ibarat lain tipu daya perempuan lebih mematikan daripada godaan setan.